REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA—Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta meminta penerapan uang pangkal bagi siswa baru masuk SMAN dan SMKN di Jakarta atau yang biasa disebut iuran peserta didik baru (IPDB) dihapuskan.
Terlebih, penarikan uang pangkal terhadap siswa baru selama ini dinilai tidak transparan dan hanya diketahui oleh kepala sekolah (kepsek) serta pengurus komite sekolah (komsek), baik besaran uang IPDB masuk maupun rincian alokasi peruntukannya.
"Dinas Pendidikan DKI Jakarta harus mulai menghapus pengenaan uang pangkal dengan berbagai dalih di SMAN dan SMKN. Setidaknya mulai tahun ajaran baru 2010/2011, karena pungutan itu masuk kategori gratifikasi, kecuali iuran rutin bulanan itu pun nilainya harus wajar," ujar Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Lulung Lunggana, Ahad (6/6).
DPRD DKI, kata Lulung, berharap Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta, Taufik Yudhi Mulyanto, memberikan sanksi berat bagi kepala sekolah dan guru yang sering melakukan pungutan liar besar-besaran dari orang tua siswa. Sanksi yang diberikan juga harus memberikan efek jera sehingga kepala sekolah tidak menyalahgunakan kewenangannya dan berlindung di bawah kebijakan iuran peserta didik baru (IPDB) dan komite sekolah.
Lulung juga mengkritisi pernyataan Kadisdik, Taufik Yudhi, yang menyebutkan bahwa sekolah diharamkan bicara soal uang sebelum berlangsung kegiatan belajar mengejar (KBM). Menurutnya, pernyataan tersebut hanya isapan jempol belaka karena pernyataan kepala dinas ini setiap tahun bunyinya sama seperti itu, tapi tidak ada sekolah yang mentaatinya.
“Kenyataannya, pungutan kepada orangtua yang selalu dikritisi masyarakat dan DPRD DKI Jakarta terus berlangsung setiap tahun saat digelar Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB),” sesal Lulung.
Karena itu, Lulung menilai kewibawaan pernyataan kepala dinas itu tidak ada. Artinya kepala sekolah tidak tunduk kepada pimpinan. Modus kepala sekolah untuk cuci tangan antara lain dengan menuding pelaku pungutan adalah komite sekolah sebagai mitra sekolah dan orang tua siswa.
DPRD DKI, ujar Lulung, meminta bukti seperti apa realisasi dan tindaklanjut kepala sekolah dan komite sekolah terhadap pernyataan kepala dinas. Karena, nyatanya tindakan dan sanksi dari kepala dinas terhadap kepala sekolah yang nakal tidak ada.
Kepala sekolah tidak dikenakan sanksi lantaran selalu menuding pelaku pungutan adalah komite sekolah. “Logikanya, mustahil komsek bisa berbuat semaunya di sekolah milik pemerintah tanpa ada restu dari kepala sekolah,” ujar Lulung.
Hal yang sama juga disampaikan Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta, Belly Bilalusalam. Menurutnya pungutan liar menjelang PPDB masih marak. Dia meminta Disdik DKI agar menghapus pungutan uang pangkal bagi siswa SMAN/SMKN mulai tahun ajaran (TA) 2010/2011.
Penghapusan uang pangkal, menurut Belly, sebuah langkah awal untuk menyongsong penggratisan biaya pendidikan di SMA/SMK Negeri dalam mewujudkan wajib belajar 12 tahun. ''Selama ini penarikan uang pangkal pun tidak jelas peruntukannya dan tidak pernah transparan pengelolaannya,'' kata Belly.
Terlebih, penarikan uang pangkal terhadap siswa baru selama ini dinilai tidak transparan dan hanya diketahui oleh kepala sekolah (kepsek) serta pengurus komite sekolah (komsek), baik besaran uang IPDB masuk maupun rincian alokasi peruntukannya.
"Dinas Pendidikan DKI Jakarta harus mulai menghapus pengenaan uang pangkal dengan berbagai dalih di SMAN dan SMKN. Setidaknya mulai tahun ajaran baru 2010/2011, karena pungutan itu masuk kategori gratifikasi, kecuali iuran rutin bulanan itu pun nilainya harus wajar," ujar Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Lulung Lunggana, Ahad (6/6).
DPRD DKI, kata Lulung, berharap Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta, Taufik Yudhi Mulyanto, memberikan sanksi berat bagi kepala sekolah dan guru yang sering melakukan pungutan liar besar-besaran dari orang tua siswa. Sanksi yang diberikan juga harus memberikan efek jera sehingga kepala sekolah tidak menyalahgunakan kewenangannya dan berlindung di bawah kebijakan iuran peserta didik baru (IPDB) dan komite sekolah.
Lulung juga mengkritisi pernyataan Kadisdik, Taufik Yudhi, yang menyebutkan bahwa sekolah diharamkan bicara soal uang sebelum berlangsung kegiatan belajar mengejar (KBM). Menurutnya, pernyataan tersebut hanya isapan jempol belaka karena pernyataan kepala dinas ini setiap tahun bunyinya sama seperti itu, tapi tidak ada sekolah yang mentaatinya.
“Kenyataannya, pungutan kepada orangtua yang selalu dikritisi masyarakat dan DPRD DKI Jakarta terus berlangsung setiap tahun saat digelar Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB),” sesal Lulung.
Karena itu, Lulung menilai kewibawaan pernyataan kepala dinas itu tidak ada. Artinya kepala sekolah tidak tunduk kepada pimpinan. Modus kepala sekolah untuk cuci tangan antara lain dengan menuding pelaku pungutan adalah komite sekolah sebagai mitra sekolah dan orang tua siswa.
DPRD DKI, ujar Lulung, meminta bukti seperti apa realisasi dan tindaklanjut kepala sekolah dan komite sekolah terhadap pernyataan kepala dinas. Karena, nyatanya tindakan dan sanksi dari kepala dinas terhadap kepala sekolah yang nakal tidak ada.
Kepala sekolah tidak dikenakan sanksi lantaran selalu menuding pelaku pungutan adalah komite sekolah. “Logikanya, mustahil komsek bisa berbuat semaunya di sekolah milik pemerintah tanpa ada restu dari kepala sekolah,” ujar Lulung.
Hal yang sama juga disampaikan Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta, Belly Bilalusalam. Menurutnya pungutan liar menjelang PPDB masih marak. Dia meminta Disdik DKI agar menghapus pungutan uang pangkal bagi siswa SMAN/SMKN mulai tahun ajaran (TA) 2010/2011.
Penghapusan uang pangkal, menurut Belly, sebuah langkah awal untuk menyongsong penggratisan biaya pendidikan di SMA/SMK Negeri dalam mewujudkan wajib belajar 12 tahun. ''Selama ini penarikan uang pangkal pun tidak jelas peruntukannya dan tidak pernah transparan pengelolaannya,'' kata Belly.
0 komentar:
Posting Komentar